Iklan

Iklan

Pakar Hukum Pidana Fakultas Unsrat Manado Sebut Penangkapan Empat Konsumen di RM Dabu Dabu Lemong Dinilai Prematur

Redaksi
26 Okt 2022, 23:27 WIB Last Updated 2023-06-11T20:02:12Z
Pakar Hukum Pidana Fakultas Unsrat Manado, Eugenius Paransi, SH MH. © 2022 Infosatu.co.id

MANADO, Infosatu.co.id - Pakar hukum pidana Fakultas Unsrat Manado, Eugenius Paransi, SH MH angkat bicara terkait dugaan pemerasan selaku empat konsumen dan diketahui juga oknum wartawan kepada Rumah Makan (RM) Dabu Dabu Lemong di bilangan Boulevard Dua Kecamatan Tuminting yang saat ini telah ditahan di markas komando Polresta Manado.

Hal itu dibuktikan dengan konten video yang beredar luas di jejaring sosial. Dimana jelas terlihat dalam sayur kangkung tercampur dengan sehelai rambut dan didalam minuman jus alpukat terlihat adanya seekor lalat.

Menurut pakar hukum pidana Fakultas Unsrat Manado, Eugenius Paransi, SH.MH menjelaskan, kasus di temukannya lalat dan rambut di makanan dan minuman jadi tanda awas serta perhatian, buat calon pelanggan agar lebih selektif dalam memilih rumah makan/restoran yang menunya benar-benar terjamin baik dari aspek higienitas dan kebersihan.

”Hal higienitas dan kebersihan merupakan hal prinsip dan fundamental sebagaimana di-atur dalam Keputusan Menteri Kesehatan RI nomor : 1098/MENKES/SK/VII/2003 tentang, Persyaratan Higiene Sanitasi Rumah Makan dan Restoran, ” tutur Paransi, Selasa (25/10/2022).

Lanjutnya, aturan ini jadi berbanding terbalik dengan layanan pihak pengelola rm dabu dabu lemong. Yang diduga abai terhadap aturan pemerintah, tanpa disadari hal ini menjadi preseden buruk buat pemilik rumah makan ketika persoalan ini terkuak ke publik, akibat ditemukannya lalat dan rambut dimakanan yang disajikan.

“Saya berharap hal ini tidak boleh didiamkan begitu saja, Pemerintah kota (Pemkot) dalam hal ini Dinas Kesehatan Kota Manado menindak tegas terhadap kelalaian yang dilakukan pihak pengelolah sesuai dengan aturan yang berlaku,” tegas Paransi.

Disisi lain kata Paransi, tuduhan Penyidik Polresta Manado terhadap empat oknum wartawan, yang melakukan pemerasan terhadap pengelolah RM Dabu Dabu lemong, dinilai prematur.

Menurut sosok yang sering dihadirkan di pengadilan sebagai saksi ahli. Bahwa pemerasan dapat terpenuhi jika terjadi pengancaman disertai dengan kekerasan sebagaimana tersebut dalam KUH-Pidana pasal 368 dengan ancaman hukuman 8 bulan penjara, jika unsur ini tidak terpenuhi maka Polisi tak boleh terburu-buru mensangkakan lima oknum wartawan dimaksud melakukan pemerasan.

“Ini kan didahului negosiasi, singkat kata telah terjadi kesepakatan antara pengelolah restoran dengan empat oknum wartawan dimana, pihak pengelolah bersedia memberikan uang senilai Rp. 3.000.000,- sesuai kesepakatan tanpa paksaan tapi mengapa pihak Kepolisian menyebutnya sebagai tindakan pemerasan, dimana unsur pemerasan?,” Paransi mempertanyakan.

“Jangan-jangan sebelum terjadi transaksi pihak pengelolah telah terlebih dahulu menghubungi pihak kepolisian dengan menyebutkan ada empat oknum wartawan melakukan pemerasan, ini jebakan dan pihak pengelolah dapat saja terancam di lapor balik oleh ke empat oknum wartawan dengan tuduhan pencemaran nama baik,” tambah mantan Ketua KPU Kota Manado ini.

Dia juga mengingatkan, bahwa pihak Polresta Manado tidak tergesa-gesa dalam bertindak. Sebab ini masih ranahnya para pihak, dalam hal ini para oknum wartawan dan pihak pengelolah, belum menjadi ranahnya kepolisian kecuali ke empat oknum wartawan tersebut melakukan pengancaman, intimidasi dan atau pemaksaan.

”Karena dapat berakibat hal ini, pihak Polresta Manado terancam di pra-peradilankan oleh ke empat oknum wartawan, terkait penangkapan yang diduga tidak disertai surat penangkapan termasuk penetapan sebagai tersangka. Dinilai tidak sah dan tidak sesuai dengan hukum acara pidana dan oleh karena itu harus dinyatakan bebas demi hukum,” ujar Paransi, mengingatkan.

Dikatakannya, ini kasus sepele, Polisi itu tidak hanya sebagai aparat penegak hukum semata tapi juga dapat bertindak sebagai juru damai. Hal itu sejalan dengan harapan dan himbauan Kapolri sebagaimana tertuang dalam Peraturan Kapolri (Perkap) nomor 6 tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana dalam pasal 12 di kenal asas Restoraktif of Justice artinya upaya pemulihan pada keadaan semula.

“Keadaan semula yang damai ini tugas sebagai upaya Polri untuk mendamaikan antara kedua bela pihak hanya pada kasus-kasus yang tidak bersentuhan dengan tubuh dan kasus yang berdimensi luas serta meresahkan masyarakat Tindak Pidana berdasarkan Keadilan Restoratif (Restorative Justice). Dengan kata lain kalau bisa diselesaikan lewat jalan damai, mengapa harus ditingkatkan menjadi penyidikan? sementara Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 6 Tahun 2019 mengatur tentang Penanganan Tindak Pidana berdasarkan Keadilan Restoratif (Restorative Justice),” pungkas Paransi.

Dalam penjelasan pemerasan adalah tindakan menyalahgunakan kekuasaan dengan memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya. Namun demikian, unsur “memaksa” menjadi sangat penting untuk dibuktikan pada tindakan pidana ini karena sering dijadikan alasan bagi pihak pemberi sebagai dalih pemberian.

Perbedaan mendasar antara penyuapan dan pemerasan adalah dari segi inisiator serta unsur pemaksaan antara pemberi dan penerima.

Penulis: Benny Pongayouw
Editor: Redaksi News
Komentar
Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE. #JernihBerkomentar
  • Pakar Hukum Pidana Fakultas Unsrat Manado Sebut Penangkapan Empat Konsumen di RM Dabu Dabu Lemong Dinilai Prematur

Terkini Lainnya

Iklan